Selasa, 25 Januari 2011

Untuk Korupsi : KUHAP Perlu Diterobos


KUHAP yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 dan diberi gelar “karya agung” oleh Menteri Kehakiman pada waktu itu Ali Said, di dalam praktek penuntutan perkara pidana temyata bisa memberi lubang bagi terdakwa, khususnya terdakwa yang didakwa melakukan korupsi untuk lepas dari jeratan hukum.

Dengan berlakunya KUHAP, pada prinsipnya wewenang melakukan penyelidikan perkara pidana berada di tangan Polisi. Sehingga timbul ungkapan bahwa Polisi adalah “penyidik tunggal”. Di luar Polisi memang ada penyidik lain, yaitu Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (PPNS) yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan oleh suatu undang-undang. PPNS ini misalnya penyidik PPNS Bea Cukai dalam perkara pidana penyelundupan, dan penyidik PPNS ini dalam melaksanakan wewenangnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Polisi.

Jaksa yang semula juga mempunyai wewenang menyidik, dengan berlakunya KUHAP maka wewenang tersebut pada prinsipnya hilang. Wewenang Jaksa dibatasi hanya melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan serta penetapan Hakim.

Ketika KUHAP mulai berlaku, di samping tindak pidana yang diatur di dalam KUHP dan dikenal dengan tindak pidana umum, juga berlaku undang-undang lain yang memuat ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana tertentu dan kita kenal dengan tindak pidana khusus. Tindak pidana khusus ini misalnya tindak pidana korupsi (diatur di dalam UU no. 3 tahun 1971 yang dicabut dan diganti dengan UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001), tindak pidana ekonomi (diatur di dalam UU no. 7 Drt tahun 1955, sekarang sudah dicabut), dan tindak pidana subversi (diatur di dalam UU no. 1l tahun 1963, sekarang sudah dicabut).

UU tertentu yang memuat ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana khusus itu mempunyai acara pidana khusus yang memberi wewenang kepada Jaksa sebagai penyelidik, penyidik di samping sebagai penuntut umum.

Landasan hukum berlakunya UU tertentu yang memberi wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tersebut di dalam KUHAP dimuat di dalam Ketentuan Peralihan pasal 284 ayat 2. Ketentuan ini sifatnya sementara, mengingat UU tertentu tersebut akan “ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya” (penjelasan pasal 284 ayat 2 KUHAP).

Sampai saat ini, setelah KUHAP berlaku lebih dari 20 tahun, beberapa UU tertentu telah dicabut, antara lain UU Tindak Pidana Ekonomi dan UU Pemberantasan Subversi dan terakhir UU no. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baru yaitu UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001, ternyata masih memberi wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara korupsi. Wewenang Jaksa di sini tidak lagi bersifat sementara, karena dengan dicabutnya UU no. 3 tahun 1971 pada tanggal 16 Agustus 1999, maka wewenang Jaksa tersebut tidak lagi terkait dengan pasal 284 ayat 2 KUHAP. Dengan demikian dalam perkara korupsi terdapat dua aparat penyidik yaitu Jaksa (berdasarkan UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001) dan Polisi (berdasarkan KUHAP).

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana korupsi mempunyai persamaan unsur dengan beberapa tindak pidana umum yang terdapat dalam KUHP. Hal ini nampak antara lain dari UU no. 3 tahun 1971, UU no. 31 tahun 1999, dan UU no. 20 tahun 2001 yang mengadopsi secara utuh pasal-pasal KUHP tertentu ke dalamnya. Sehingga, pasal-pasal pidana umum tersebut dikualifisir menjadi pasal-pasal korupsi, misalnya pasal 419, 420, 423, 425 KUHP dan sebagainya.

Dalam tindak pidana korupsi tertentu substansi unsur-unsurnya mempunyai persamaan dengan tindak pidana umum. Perbedaannya hanya terletak pada adanya keterkaitan dengan negara, misalnya: yang dirugikan oleh perbuatan pidana tersebut adalah negara. Dalam hubungan ini seandainya perbuatan pidana tersebut merugikan perseorangan (bukan negara), maka perbuatan pidana tersebut masuk dalam kualifikasi pidana umum, bukan tindak pidana korupsi.

Contohnya adalah seseorang membuat kwitansi palsu dan dengan kwitansi palsu tersebut ia berhasil menarik uang dari suatu kantor pemerintah. Kasus seperti ini merupakan perbuatan memalsukan surat sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 263 ayat 1 KUHP. Tetapi karena yang dirugikan adalah kantor pemerintah, maka perbuatan tersebut dikualifisir sebagai tindak pidana korupsi oleh pasal 2 UU no. 31 tahun 1999. Jadi, sebelum adanya UU Korupsi yang pertama yaitu UU no. 24 Prp tahun 1960, kasus tersebut di atas merupakan tindak pidana umum dengan kualifikasi kejahatan.

Tindak pidana korupsi pada umumnya dipahami sebagai tindak pidana khusus dan diatur di dalam UU pidana khusus atau lex specialis (bijzondere wet), sedangkan tindak pidana umum yang diatur di dalam KUHP difahami sebagai lex generalis (algemene wet). Dalam perkembangannya, saat ini lahir berbagai UU yang memuat perbuatan­perbuatan yang dikualifisir sebagai tindak pidana. Perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur spesifik yang tidak dikenal oleh KUHP. Contohnya adalah perbuatan-perbuatan yang dikualifisir sebagai tindak pidana dalam UU no. 7 tahun 1992 jo UU no. 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

Perbuatan seperti contoh di atas dapat dikualifisir sebagai tindak pidana khusus karena diatur dalam UU khusus atau lex specialis. Namun karena tidak mempunyai acara pidana yang khusus sebagaimana dimaksud oleh pasal 284 ayat 2 KUHAP maka wewenang penyidikan dilakukan oleh Polisi. Mengacu kepada KUHAP, maka penanganan atas perkara korupsi yang dilakukan oleh penyidik Jaksa dan penyidik Polri dapat membuahkan hasil yang berbeda.

Contohnya adalah dalam kasus BLBI di mana terjadi pelanggaran terhadap UU Perbankan yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Kalau kasus itu disidik oleh Jaksa maka Jaksa akan mengkontruksikan pelanggaran terhadap UU Perbankan sebagai perbuatan “melawan hukum” dikaitkan dengan pasal 2 UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001. Hal ini akan membawa dampak bagi Jaksa dalam menyusun surat dakwaan, yaitu Jaksa hanya dapat menyusun dakwaan pelanggaran terhadap UU Korupsi.

Sedangkan jika kasus itu disidik oleh Polisi, maka Polisi dapat memasukkan dalam berkas perkara 2 (dua) sangkaan, yaitu pelanggaran terhadap UU Korupsi dan atau pelanggaran terhadap UU Perbankan. Sehingga dalam tahap penuntutan Jaksa dapat membuat surat dakwaan dengan dua pelanggaran secara kumulatif maupun alternatif, yaitu pelanggaran terhadap terhadap UU Korupsi dan atau pelanggaran terhadap UU Perbankan. Praktek seperti tersebut di atas terjadi sebagai konsekwensi dari wewenang Polisi yang berdasarkan KUHAP dapat melakukan penyidikan baik terhadap perkara korupsi maupun tindak lainnya baik yang diatur di dalam KUHP maupun di dalam lex specialis (seperti perkara pelanggaran UU Perbankan tersebut).

Sedangkan wewenang Jaksa hanya terbatas pada melakukan penyidikan perkara korupsi. Pada perkembangan selanjutnya, pasal 43 UU no. 31 tahun 1999 memerintahkan terbentuknya UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.

Seperti telah dikemukakan dalam contoh di atas, dalam suatu perkara korupsi kemungkinan terkait atau terkandung di dalamnya tindak pidana lain (misal: adanya pemalsuan surat atau pelanggaran terhadap suatu lex specialis), sehingga seharusnya semua tindak pidana yang terjadi bisa disidik dan dituntut sekaligus bersama-sama. Kalau wewenang untuk menangani kasus seperti ini tidak dipunyai oleh Komisi, maka efektivitas Komisi akan tidak optimal, sebagaimana yang dialami oleh Jaksa dalam memberantas korupsi secara represif.

Komisi tersebut perlu diberi wewenang yang luas dalam arti mempunyai wewenang menangani perkara korupsi maupun perkara lain yang terkait dengan suatu perkara korupsi sekaligus baik dalam penyidikan maupun dalam penuntutan. Wewenang luas yang “menerobos” KUHAP perlu diberikan kepada Komisi untuk menghadapi korupsi sebagai extra ordinary crime dengan modus operandi yang beraneka ragam dan complicated. Jika kita bersikap selalu mengacu kepada KUHAP dan tidak berani mengambil terobosan dalam menghadapi korupsi, mudah diduga bahwa Komisi tidak akan mencapai keberhasilan dan kegunaan sebagaimana diharapkan. Atau dengan kata lain Komisi akan menjadi senjata tumpul.

Perkembangan Bab – Bab Yang Terkait Dengan Proteksi Negara Dalam RUU KUHP


I. PENDAHULUAN

Berbicara mengenai Rancangan KUHP bagaimanapun juga kita harus meninjau sejarah perkembangan hokum pidana dan KUHP di Indonesia. Sekarang ini, berlaku KUHP atau Het Wetboek Van Straftrecht (WvS) yang dinyatakan oleh UU No Tahun 1946 sebagai KUHP yang berlaku di Indonesia (diambil dari Wetboek van Straftrecht voor Netherlands Indie (keadaan Tahun 1942) dengan beberapa perubahan dan penambahan. Oleh karena ada daerah yang kembali diduduki oleh NICA (Belanda) sehingga secara defacto pernah berlaku satu KUHP yaitu het wetboek van straftrecht keadaan tahun 1942 tetapi dengan dua versi yang satu KUHP versi UU Noi 1 Tahun 1946 dan yang stau versi NICA. Jadi ada beberapa perbedaan. Baru tahun 1958 dinyatakan yang berlaku ialah versi UU NO 1 Tahun 1946.

Menyangkut Bab Tentang Keamanan Negara KUHP yang berlaku sekarang yang berasal dari het Wetboek Van Straftrecht Voor Ned. Indie, tahun 1915 yang mulai berlaku 1 Januari 1918 yang bersumber pada KUHP Belanda Tahun 1886 sebenarnya tidak mengatur tentang delik ideologi. Jadi, pada umumnya menganut suatu paham atau ideologi tidak diancam dengan pidana kecuali jika mengancam ketertiban umum atau keamanan negara.

Ada ketentuan di dalam het Wetboek Van Straftrecht Van Nederland (KUHP Belanda) yang kemudian masuk ke het wetboek van straftrecht voor ned. Indie dan berlanjut ke KUHP sekarang ketentuan yang berbau ideologi, yaitu ketentuan tentang makar (aanslag). Ketentuan tentang makar ini juga muncul di dalam Rancangan KUHP yang akan diuraikan dibawah ini. Ketentuan tentang makar itu tercantum di dalam Pasal 215, 216 dan 217 Rancangan.

II. PEMBAHASAN

Yang pertama yang akan disinggung ialah tentang makar yang istilah asli WvS ialah aanslag. Jadi, sekarang jika kita membicarakan atau menafsirkan istilah maka harus pakai istilah asli KUHP, yaitu aanslag. Sedangkan istilah makar hanyalah terjemahan dari aanslag itu. Jika KUHP baru berlaku nanti, maka tentu istilah makar menjadi istilah resmi yang akan dijelaskan dalam penjelasan.

Aanslag atau makar mulai muncul di dalam KUHP Belanda tahun 1920. Jadi, pada mulanya tahun 1886 – 1920 yang berlaku ialah percobaan (poging) untuk semua kejahatan. Kisahnya demikian: Pada tahun 1918 Tsar Nicolas II Rusia beserta seluruh keluarganya dan pembantu dekatnya dieksekusi oleh Bolsyewick atau komunis yang baru merebut kekuasaan melalui revolusi di Rusia. Maka terjadilah demam revolusi di seluruh Eropa. Semua negara takut menjadi revolusi seperti di Rusia termasuk Belanda. Segeralah pemerintah Belanda dan DPR menciptakan Undang – Undang yang dinamai Anti Revolutie Wet tahun 1920. Maksudnya ialah mencegah pecahnya revolusi komunis di Belanda Anti Revolutie Wet ini memperkenalkan aanslag sebagai pengganti percobaan untuk delik terhadap keamanan negara (=Pasal 104-110 KUHP Indonesia). Sebagai diketahui, ada tiga unsur percobaan (poging) yang pertama ada niat (untuk melakukan kejahatan), kedua, niat itu sudah dilaksanakan.

Ketiga tidak selesai diluar kehendak pembuat. Untuk aanslag (makar) unsurnya hanya dua: pertama ada niat (untuk melakukan kejahatan terhadap keamanan negara) yang kedua niat itu sudah dilaksanakan. Unsur yang ketiga, tidak selesai diluar kehendak pembuat ditiadakan untuk aanslag (makar). Jadi jika seseorang berniat membunuh raja (di Indonesia Presiden), dia sudah tanam bom di jalan yang akan dilewati kendaraan presiden, tinggal menarik tali pemicu lalu seketika berubah pikiran membatalkan tindakannya, ia tetap dipidana karena telah melakukan aanslag andaikata tidak ada Anti Revolutie Wet tahun 1920 maka dia tidak dipidana karena unsur ketiga percobaan tidak dipenuhi.

Di Indonesi a(Ned. Indie) terjadi revolusi atau pemberontakan PKI di Semarang tahun 1926 sehingga diperkenalkan juga lembaga aanslag (makar) di dalam het wetboek van straftrecht pada tahun 1930 khususnya delik terhadap keamanan negara dari pasal 104 sampai dengan Pasal 110.

Menyangkut delik ideologi sepanjang pengetahuan Penulis hanya ada tiga negara yang menerapkannya, yaitu RRC dengan delik terhadap perbuatan yang merongrong ideologi komunis dan Indonesia yang sejak tahun 1998 jaman pemerintahan BJ Habibie diperkenalkan di dalam KUHP delik yang persis terbalik dengan RRC yaitu delik terhadap penyebaran ideologi komunisme/marxime-leninisme. Juga Jerman yang melarang ideologi Naziisme.
Dalam rancangan selain delik penyebaran ajaran komunisme/marxisme –leninisme (Pasal 212 dan Pasal 213) juga ada delik ideologi berupa delik peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila (Pasal 214).
Rumusan delik larangan penyebaran komunisme/marxisme – leninisme di dalam rancangan khususnya Pasal 212, sesungguhnya sangat dibatasi dengan adanya unsur (bagian inti delik)”melawan hukum” yang dengan sendirinya seorang dosen yang mengajarkan teori Karl Marx misalnya teori tentang Dialektika, seperti di Fakultas Sosial Politik, Ekonomi, Ekonomi, Sastra(Sejarah) tidaklah melakukan delik. Unsur (bagian inti delik) itu ditambah lagi dengan unsur atau bagian inti delik “ dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara” yang menjadikan delik ini jarang terjadi.

Unsur pemberatan itu terjadi kerusuhan dalam masyarakat, pidananya menjadi maksimum 10 tahun penjara. Jika mengakibatkan luka berat atau kerugian harta benda pidananya menjadi maksimum 12 tahun penjara.Jika menyebabkan matinya orang, maka naik lagi menjadi 15 tahun penjara (pembunuhan saja memang ancaman pidananya sudah 15 tahun penjara)
Ada dasar pembenar di dalam undang – undang, yaitu jika kegiatan dilakukan semata – mata kegiatan ilmiah, yang sebenarnya tidak perlu dincantumkan karena sudah ada unsur lain yang maksudnya sama.

Pasal 213 mengenai perbuatan mendirikan organisasi yang menganut ideologi komunisme, mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi yang diketahuinya berasaskan ajaran komunisme dengan maksud mengubah dasar Negara atau yang tercantum dalam butir C”dengan maksud menggulingkan pemerintahan yang syah”.
Lain – lain delik ialah delik mengenai pertahanan negara (Pasal 221-227)pengkhianatan terhadap negara dan pembocoran Rahasia Negara (Pasal – Pasal 228-234), delik sabotase (Pasal 235-241), terorisme (Pasal 242-251), Delik Penerbangan (Pasal 252-263).

III. KESIMPULAN

Penulis berpendapat bahwa delik ideologi dapat saja diterapkan dengan unsur atau bagian inti yang sangat ketat, Karena negara demokrasi seperti Jerman juga melarang ideologi yang membahayakan kelangsungan Negara seperti Naziisme. Akan tetapi menjadi pertanyaan apakah keinginan mengganti ideologi Pancasila misalnya melalui jalur demokrasi (MPR/DPR) perlu juga dilarang.

Kejahatan Berat dan Hukum Humaniter

Pendahuluan

Dalam keadaan perang atau situasi darurat umum (istilah yang juga dikenal dalam berbagai konvensi international), dimungkinkan adanya pembatasan penikmatan HAM. Kondisi yang dimaksudkan adalah "in time of public emergency with threatens the life of a nation, to the extent strictly required by the exigencies of the situation…."



Konflik bersenjata, di manapun di dunia ini, selalu membawa korban; mulai dari tingkat individu, komunitas, sampai ke tingkat nasional. Sebut saja beberapa peristiwa, misal ; konflik bersenjata di Aceh, perselisihan antar warga di Ambon, di Poso, dan konflik bersenjata pasca tragedi Gedung WTC (World Trade Centre) dan Pentagon. Ironisnya, dari berbagai peristiwa tersebut, selain mengorbankan jutaan jiwa, korbannya bukan hanya militer/pasukan atau angkatan bersenjata yang terlibat langsung dalam konflik. Akan tetapi, rakyat atau masyarakat sipil yang tidak berdosa yang justru menerima akibat lebih tragis.

Berdasarkan pengalaman yang dialami banyak negara di berbagai kurun waktu dan belahan dunia. Maka, tercetuslah dasar-dasar hukum humaniter yang bertujuan melindungi dan membatasi akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa tersebut

Prinsip Hukum Humaniter

Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti perangkat hukum lainnya, hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup panjang namun sangat signifikan. Tujuan Hukum Humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut:

1. untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan orang-orang sipil;

2. untuk membatasi akibat kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut.

Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan antar Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan. Akan tetapi, orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang.

Kelahiran hukum humaniter dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan Austria yang terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun 1859. Dalam buku yang ditulisnya, "Un Souvenir de Solferino", Dunant menghimbau dua hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan, agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga semacam ini, termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih diperhatikan.

Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga beraksi dengan mendirikan Inter-national Committee for Aid to the Wounded - yang kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross. Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi oleh 16 Negara Eropa pada tahun 1864, dan Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the Wounded in Armies in the Field.

Tidak dapat diingkari bahwasanya konvensi ini menjadi simbol peletakkan batu pertama dari Hukum Humaniter Internasional, dengan mengutamakan prinsip-prinsip universalitas dan toleransi dalam hal ras, kebangsaan dan agama. Tragedi kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang Saudara di Spanyol (1936-1939) dan Perang Dunia Kedua (1939-1945), menggugah Liga Bangsa-Bangsa untuk melanjutkan penetapan sejumlah konvensi berikutnya. Konvensi Kedua, berkenaan dengan anggota tentara yang terluka, sakit, terdampar di lautan; Konvensi Ketiga tentang Tawanan Perang, dan Konvensi Keempat, tentang korban-korban masyarakat sipil. Kesemua konvensi ini mempunyai kesamaan, yakni adanya penetapan mengenai aturan minimum yang harus dipatuhi pada saat terjadinya konflik bersenjata secara internal.

Dari uraian di atas, nampak bahwasanya konflik bersenjata yang dimaksudkan dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus "in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria…" padahal sebelum tahun 1949, perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer.

Perangkat internasional yang paling signifikan dalam konteks ini mencakup tiga golongan besar, yakni:

1. Law of Geneva, yakni Konvensi-konvensi dan protokol-protokol Internasional yang ditetapkan di bawah lingkup Komite Palang Merah Intersional atau ICRC, di mana perlindungan bagi korban konflik menjadi perhatian utama:

2. Law of the Hague, ketentuan ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di Ibukota Belanda pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan;

3. Upaya-upaya PBB untuk memastikan agar dalam situasi konflik bersenjata, HAM tetap dihormati, dan sejumlah senjata dibatasi pemakaiannya

Protokol I dari konvensi Jenewa memberikan perlindungan bagi orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh, sedangkan Protokol II memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan korban konflik bersenjata internal (bukan inter-national). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa beserta dengan 185 Negara lainnya (menurut data tahun 1977). Konvensi Jenewa ini diterapkan melalui kerjasama a Protecting Power, atau Negara ketiga yang menjadi pihak netral dalam konflik tersebut, di bawah pengawasan ICRC.

Dalam kaitannya dengan kondisi di Indonesia saat ini, yang paling relevan adalah konflik bersenjata internal yang sampai detik ini masih terjadi. Situasi konflik internal yang tengah terjadi di Aceh misalnya (atau Ambon?) yang sering disebut sebagai perang saudara ini lebih kompleks sifatnya, dan memerlukan penanganan yang arif.

Internal disturbances dirumuskan sebagai berikut:

"…..situations, in which there is no international armed conflict as such, but there exists a confrontation within the country, characterized by a certain seriousness or duration, and which involves acts of violence from the spontaneous generation of acts of revolt to the struggle between more or less organized groups the authorities in power call upon extensive police force or even armed forces to restore internal order the high number of victims had made necessary the applications of minimum of humanitarian rules…"

Dengan demikian unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam situasi seperti di atas adalah:

· Intensitas dan lamanya konflik
· Perilaku dengan kekerasan yang terjadi
· Dilakukan secara spontan ataukah terorganisir
· Kekuatan kepolisian yang besar
· Kekuatan angkatan bersenjata.

Dalam Geneva Convention III, tahun 1949, pasal 3 ayat (1) dicantumkan bahwa:

"…Person taking no active part in the hostilities shall in all circum stance be treated humanely without any adverse distinctions….."

Angkatan bersenjata dan kepolisian dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan di bawah ini terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut:

1. Kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa
2. Menyandera orang
3. Melakukan tindakan yang melecehkan martabat, menghina dan merendahkan orang
4. Menjatuhkan dan melaksanakan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang.

Dalam pasal 4 Protocol II to The Geneva Convention, 1977 dirumuskan bahwa:

All persons who do not take part or have ceased to take part in hostilities whether or not their liberty has been restricted, are entitled to respect to their persons, honors, and conviction and religious practices, to be treated humanely without any adverse distinction.

Perilaku yang dilarang terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut mencakup:

· Melakukan kekerasan terhadap nyawa, kesehatan dan kesejahteraan mental maupun jasmani orang Collective Punishment
· Menyandera orang
· Melakukan terorisme
· Melecehkan harkat dan martabat seseorang terutama perilaku yang merendahkan dan menghina, perkosaan, pemaksaan prostitusi, dan semua bentuk serangan terhadap kesusilaan.
· Melakukan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya
· Melakukan penjarahan
· Mengancam untuk melakukan perilaku-perilaku di atas.


Bentuk-Bentuk Kejahatan Berat

Tindak-tindak pidana yang termasuk dalam pelanggaran berat atau grave breaches dalam Konvensi Jenewa mencakup:

1. Willful killing;

Willful Killing merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang ekuivalen dengan pasal 340 dan 338 KUHP.

2. Torture or in human treatment, including biological experiment;

Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan dengan penderitaan jasmani belaka, yakni:

"… Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada sese-orang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau me-maksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada bentuk dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbul-kan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…"

3. Willfully causing suffering or serious injury to body are health;

Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dst dari KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan.

4. Extensive destruction or appropriation of property

Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406 KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan sehubungan dengan perilaku ini.

5. Compelling a prisoner of war or protected person to serve in the armed force of hostile power,

Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang melindungi (oleh hukum) untuk bekerja bagi angkatan bersenjata pihak musuh

6. Willfully depriving a prisoner of war of protected person of the right to a fair and regular trial.

Dengan sengaja menghalang-halangi tawanan perang untuk mempergunakan haknya untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak memihak.



Pelaku Kejahatan Berat

Pertanggungjawaban pidana atas kejahatan berat yang diurai di sini ini dapat diletakkan pada orang-orang yang:

1. memenuhi semua unsur tindak pidana,

2. memerintahkan dilakukannya tindakan ter-sebut, termasuk dalam bentuk percobaan,

3. gagal mencegah atau menindak perilaku kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, sedangkan si atasan mengetahui bahwa bawahannya tengah atau akan melakukan kejahatan tersebut,

4. dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan tersebut, baik secara langsung maupun secara substansial, termasuk menye-diakan sarana untuk penyele-saian kejahatan tersebut,

5. langsung berpartisipasi dalam merencanakan atau menye-pakati keja-hatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan,

6. secara langsung dan umum menghasut seseorang untuk melakukan kejahatan terse-but, dan kejahatan itu dilakukan,

7. mencoba melakukan keja-hatan itu dengan memulai perbuatan, namun tidak selesai karena hal-hal yang ada di luar dirinya.

Melihat uraian di atas, untuk Indonesia pasal 55 (tentang penyertaan tindak pidana), pasal 56 (tentang pembantuan tindak pidana), dan Pasal 53 (tentang percobaan tindak pidana), sudah jelas akan menjadi acuan apabila kasus-kasus semacam ini diproses dalam peradilan di Indonesia.



Pemidanaan

Dasar-dasar pemidanaan yang berlaku secara umum juga berlaku dalam hukum huma-niter. Satu hal yang sangat penting adalah penegasan asas legalitas, bahwasanya seseorang tidak dapat dihukum atas se-suatu perbuatan yang belum dirumuskan sebagai suatu tin-dak pidana dalam Undang-Undang Negara yang bersang-kutan. Hukum Acara Pidana yang dipergunakan dalam proses peradilan bagi kasus-kasus se-macam ini tentu saja mendapat perhatian yang sangat besar.

Pasal 6 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 misalnya, memberikan rambu-rambu bagi penuntutan dan penghukuman terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan situasi konflik bersenjata. Pidana tidak dapat dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap sese-orang yang dibuktikan bersalah dalam proses peradilan yang menjamin adanya kebebasan dan ketidakberpihakan penga-dilan. Secara khusus ditentuka pula bahwa:

1. Prosedur yang diterapkan harus memberikan hak pada terdakwa untuk diberitahu dengan segera mengenai tindak pidana yang dituduh-kan padanya, beserta se-jumlah hak dan sarana untuk melakukan pembelaan, baik sebelum maupun selama persidangan.

2. Tak seorangpun dapat dija-tuhi pidana atas tindak pida-na yang dilakukannya kecuali berdasarkan pertanggungja-waban pidana secara pribadi.

3. Tak seorangpun dapat di-nyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang pada saat dilakukannya perbuatan ter-sebut tidak dirumuskan oleh hukum sebagai suatu tindak pidana; tidak dibenarkan menjatuhkan pidana yang lebih berat daripada sanksi pi-dana yang dirumuskan dalam hukum yang ada pada saat dilakukannya perbuatan ter-sebut; apabila setelah terjadi-nya perbuatan dilakukan perubahan perundang-un-dangan yang menjatuhkan sanksi yang lebih ringan. Maka, terdakwa harus dijatuhi pidana yang lebih ringan tersebut;

4. Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahan-nya menurut hukum,

5. Setiap orang yang diadili berhak untuk menghadiri persidangannya,

6. Tak seorangpun dapat di-paksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri atau untuk mengakui kesalahannya.

Bagian selanjutnya dari pasal ini menetukan sejumlah ketentuan lain yakni:

1. Bahwa setiap orang yang dijatuhi pidana harus diberi-tahukan mengenai upaya-upaya hukum yang dapat dilakukannya,

2. Pidana mati tidak boleh di-jatuhkan pada orang-orang yang berusia di bawah 18 ta-hun, wanita hamil, dan perempuan yang mempunyai anak kecil

3. Pada akhir masa konflik atau permusuhan, pihak penguasa harus berupaya untuk mem-berikan amnesti pada orang-orang yang terlibat dalam konflik bersenjata, atau orang-orang yang ditahan/dipenjara berdasarkan alas-an-alasan yang berkenaan dengan konflik bersenjata.

Kewajiban untuk melakukan proses peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan suatu ketentuan internasional yang telah dirumuskan dalam berba-gai konvensi internasional. Hak-hak yang wajib diberikan pada seorang tersangka/terdakwa telah jelas dalam ketentuan Internasional Covenant on Civil and Political Rights, terutama pasal 9 sampai dengan Pasal 15, yang pada dasarnya berisikan asas-asas antara lain:

1. Praduga tak bersalah (pre-sumption of innocence)

2. Persamaan di muka hukum (equality before the law)

3. Asas legalitas (principle of legality)

4. Ne bis in idem (double jeopardy)

5. Asas tidak berlaku surut (non retroactivity), kecuali apabila ada perubahan UU yang meringankannya.

Apabila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara. Maka, yang harus diperhatikan adalah Basic Principles for the Treatment of Prisoners, beserta pula Body of Principles for the Protection of all Persons under any form of Detention or Imprisonment.

Kejahatan Berat dan Hukum Humaniter

Pendahuluan

Dalam keadaan perang atau situasi darurat umum (istilah yang juga dikenal dalam berbagai konvensi international), dimungkinkan adanya pembatasan penikmatan HAM. Kondisi yang dimaksudkan adalah "in time of public emergency with threatens the life of a nation, to the extent strictly required by the exigencies of the situation…."



Konflik bersenjata, di manapun di dunia ini, selalu membawa korban; mulai dari tingkat individu, komunitas, sampai ke tingkat nasional. Sebut saja beberapa peristiwa, misal ; konflik bersenjata di Aceh, perselisihan antar warga di Ambon, di Poso, dan konflik bersenjata pasca tragedi Gedung WTC (World Trade Centre) dan Pentagon. Ironisnya, dari berbagai peristiwa tersebut, selain mengorbankan jutaan jiwa, korbannya bukan hanya militer/pasukan atau angkatan bersenjata yang terlibat langsung dalam konflik. Akan tetapi, rakyat atau masyarakat sipil yang tidak berdosa yang justru menerima akibat lebih tragis.

Berdasarkan pengalaman yang dialami banyak negara di berbagai kurun waktu dan belahan dunia. Maka, tercetuslah dasar-dasar hukum humaniter yang bertujuan melindungi dan membatasi akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa tersebut

Prinsip Hukum Humaniter

Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti perangkat hukum lainnya, hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup panjang namun sangat signifikan. Tujuan Hukum Humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut:

1. untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan orang-orang sipil;

2. untuk membatasi akibat kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut.

Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan antar Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan. Akan tetapi, orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang.

Kelahiran hukum humaniter dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan Austria yang terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun 1859. Dalam buku yang ditulisnya, "Un Souvenir de Solferino", Dunant menghimbau dua hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan, agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga semacam ini, termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih diperhatikan.

Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga beraksi dengan mendirikan Inter-national Committee for Aid to the Wounded - yang kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross. Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi oleh 16 Negara Eropa pada tahun 1864, dan Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the Wounded in Armies in the Field.

Tidak dapat diingkari bahwasanya konvensi ini menjadi simbol peletakkan batu pertama dari Hukum Humaniter Internasional, dengan mengutamakan prinsip-prinsip universalitas dan toleransi dalam hal ras, kebangsaan dan agama. Tragedi kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang Saudara di Spanyol (1936-1939) dan Perang Dunia Kedua (1939-1945), menggugah Liga Bangsa-Bangsa untuk melanjutkan penetapan sejumlah konvensi berikutnya. Konvensi Kedua, berkenaan dengan anggota tentara yang terluka, sakit, terdampar di lautan; Konvensi Ketiga tentang Tawanan Perang, dan Konvensi Keempat, tentang korban-korban masyarakat sipil. Kesemua konvensi ini mempunyai kesamaan, yakni adanya penetapan mengenai aturan minimum yang harus dipatuhi pada saat terjadinya konflik bersenjata secara internal.

Dari uraian di atas, nampak bahwasanya konflik bersenjata yang dimaksudkan dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus "in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria…" padahal sebelum tahun 1949, perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer.

Perangkat internasional yang paling signifikan dalam konteks ini mencakup tiga golongan besar, yakni:

1. Law of Geneva, yakni Konvensi-konvensi dan protokol-protokol Internasional yang ditetapkan di bawah lingkup Komite Palang Merah Intersional atau ICRC, di mana perlindungan bagi korban konflik menjadi perhatian utama:

2. Law of the Hague, ketentuan ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di Ibukota Belanda pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan;

3. Upaya-upaya PBB untuk memastikan agar dalam situasi konflik bersenjata, HAM tetap dihormati, dan sejumlah senjata dibatasi pemakaiannya

Protokol I dari konvensi Jenewa memberikan perlindungan bagi orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh, sedangkan Protokol II memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan korban konflik bersenjata internal (bukan inter-national). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa beserta dengan 185 Negara lainnya (menurut data tahun 1977). Konvensi Jenewa ini diterapkan melalui kerjasama a Protecting Power, atau Negara ketiga yang menjadi pihak netral dalam konflik tersebut, di bawah pengawasan ICRC.

Dalam kaitannya dengan kondisi di Indonesia saat ini, yang paling relevan adalah konflik bersenjata internal yang sampai detik ini masih terjadi. Situasi konflik internal yang tengah terjadi di Aceh misalnya (atau Ambon?) yang sering disebut sebagai perang saudara ini lebih kompleks sifatnya, dan memerlukan penanganan yang arif.

Internal disturbances dirumuskan sebagai berikut:

"…..situations, in which there is no international armed conflict as such, but there exists a confrontation within the country, characterized by a certain seriousness or duration, and which involves acts of violence from the spontaneous generation of acts of revolt to the struggle between more or less organized groups the authorities in power call upon extensive police force or even armed forces to restore internal order the high number of victims had made necessary the applications of minimum of humanitarian rules…"

Dengan demikian unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam situasi seperti di atas adalah:

· Intensitas dan lamanya konflik
· Perilaku dengan kekerasan yang terjadi
· Dilakukan secara spontan ataukah terorganisir
· Kekuatan kepolisian yang besar
· Kekuatan angkatan bersenjata.

Dalam Geneva Convention III, tahun 1949, pasal 3 ayat (1) dicantumkan bahwa:

"…Person taking no active part in the hostilities shall in all circum stance be treated humanely without any adverse distinctions….."

Angkatan bersenjata dan kepolisian dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan di bawah ini terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut:

1. Kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa
2. Menyandera orang
3. Melakukan tindakan yang melecehkan martabat, menghina dan merendahkan orang
4. Menjatuhkan dan melaksanakan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang.

Dalam pasal 4 Protocol II to The Geneva Convention, 1977 dirumuskan bahwa:

All persons who do not take part or have ceased to take part in hostilities whether or not their liberty has been restricted, are entitled to respect to their persons, honors, and conviction and religious practices, to be treated humanely without any adverse distinction.

Perilaku yang dilarang terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut mencakup:

· Melakukan kekerasan terhadap nyawa, kesehatan dan kesejahteraan mental maupun jasmani orang Collective Punishment
· Menyandera orang
· Melakukan terorisme
· Melecehkan harkat dan martabat seseorang terutama perilaku yang merendahkan dan menghina, perkosaan, pemaksaan prostitusi, dan semua bentuk serangan terhadap kesusilaan.
· Melakukan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya
· Melakukan penjarahan
· Mengancam untuk melakukan perilaku-perilaku di atas.


Bentuk-Bentuk Kejahatan Berat

Tindak-tindak pidana yang termasuk dalam pelanggaran berat atau grave breaches dalam Konvensi Jenewa mencakup:

1. Willful killing;

Willful Killing merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang ekuivalen dengan pasal 340 dan 338 KUHP.

2. Torture or in human treatment, including biological experiment;

Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan dengan penderitaan jasmani belaka, yakni:

"… Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada sese-orang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau me-maksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada bentuk dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbul-kan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…"

3. Willfully causing suffering or serious injury to body are health;

Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dst dari KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan.

4. Extensive destruction or appropriation of property

Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406 KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan sehubungan dengan perilaku ini.

5. Compelling a prisoner of war or protected person to serve in the armed force of hostile power,

Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang melindungi (oleh hukum) untuk bekerja bagi angkatan bersenjata pihak musuh

6. Willfully depriving a prisoner of war of protected person of the right to a fair and regular trial.

Dengan sengaja menghalang-halangi tawanan perang untuk mempergunakan haknya untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak memihak.



Pelaku Kejahatan Berat

Pertanggungjawaban pidana atas kejahatan berat yang diurai di sini ini dapat diletakkan pada orang-orang yang:

1. memenuhi semua unsur tindak pidana,

2. memerintahkan dilakukannya tindakan ter-sebut, termasuk dalam bentuk percobaan,

3. gagal mencegah atau menindak perilaku kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, sedangkan si atasan mengetahui bahwa bawahannya tengah atau akan melakukan kejahatan tersebut,

4. dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan tersebut, baik secara langsung maupun secara substansial, termasuk menye-diakan sarana untuk penyele-saian kejahatan tersebut,

5. langsung berpartisipasi dalam merencanakan atau menye-pakati keja-hatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan,

6. secara langsung dan umum menghasut seseorang untuk melakukan kejahatan terse-but, dan kejahatan itu dilakukan,

7. mencoba melakukan keja-hatan itu dengan memulai perbuatan, namun tidak selesai karena hal-hal yang ada di luar dirinya.

Melihat uraian di atas, untuk Indonesia pasal 55 (tentang penyertaan tindak pidana), pasal 56 (tentang pembantuan tindak pidana), dan Pasal 53 (tentang percobaan tindak pidana), sudah jelas akan menjadi acuan apabila kasus-kasus semacam ini diproses dalam peradilan di Indonesia.



Pemidanaan

Dasar-dasar pemidanaan yang berlaku secara umum juga berlaku dalam hukum huma-niter. Satu hal yang sangat penting adalah penegasan asas legalitas, bahwasanya seseorang tidak dapat dihukum atas se-suatu perbuatan yang belum dirumuskan sebagai suatu tin-dak pidana dalam Undang-Undang Negara yang bersang-kutan. Hukum Acara Pidana yang dipergunakan dalam proses peradilan bagi kasus-kasus se-macam ini tentu saja mendapat perhatian yang sangat besar.

Pasal 6 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 misalnya, memberikan rambu-rambu bagi penuntutan dan penghukuman terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan situasi konflik bersenjata. Pidana tidak dapat dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap sese-orang yang dibuktikan bersalah dalam proses peradilan yang menjamin adanya kebebasan dan ketidakberpihakan penga-dilan. Secara khusus ditentuka pula bahwa:

1. Prosedur yang diterapkan harus memberikan hak pada terdakwa untuk diberitahu dengan segera mengenai tindak pidana yang dituduh-kan padanya, beserta se-jumlah hak dan sarana untuk melakukan pembelaan, baik sebelum maupun selama persidangan.

2. Tak seorangpun dapat dija-tuhi pidana atas tindak pida-na yang dilakukannya kecuali berdasarkan pertanggungja-waban pidana secara pribadi.

3. Tak seorangpun dapat di-nyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang pada saat dilakukannya perbuatan ter-sebut tidak dirumuskan oleh hukum sebagai suatu tindak pidana; tidak dibenarkan menjatuhkan pidana yang lebih berat daripada sanksi pi-dana yang dirumuskan dalam hukum yang ada pada saat dilakukannya perbuatan ter-sebut; apabila setelah terjadi-nya perbuatan dilakukan perubahan perundang-un-dangan yang menjatuhkan sanksi yang lebih ringan. Maka, terdakwa harus dijatuhi pidana yang lebih ringan tersebut;

4. Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahan-nya menurut hukum,

5. Setiap orang yang diadili berhak untuk menghadiri persidangannya,

6. Tak seorangpun dapat di-paksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri atau untuk mengakui kesalahannya.

Bagian selanjutnya dari pasal ini menetukan sejumlah ketentuan lain yakni:

1. Bahwa setiap orang yang dijatuhi pidana harus diberi-tahukan mengenai upaya-upaya hukum yang dapat dilakukannya,

2. Pidana mati tidak boleh di-jatuhkan pada orang-orang yang berusia di bawah 18 ta-hun, wanita hamil, dan perempuan yang mempunyai anak kecil

3. Pada akhir masa konflik atau permusuhan, pihak penguasa harus berupaya untuk mem-berikan amnesti pada orang-orang yang terlibat dalam konflik bersenjata, atau orang-orang yang ditahan/dipenjara berdasarkan alas-an-alasan yang berkenaan dengan konflik bersenjata.

Kewajiban untuk melakukan proses peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan suatu ketentuan internasional yang telah dirumuskan dalam berba-gai konvensi internasional. Hak-hak yang wajib diberikan pada seorang tersangka/terdakwa telah jelas dalam ketentuan Internasional Covenant on Civil and Political Rights, terutama pasal 9 sampai dengan Pasal 15, yang pada dasarnya berisikan asas-asas antara lain:

1. Praduga tak bersalah (pre-sumption of innocence)

2. Persamaan di muka hukum (equality before the law)

3. Asas legalitas (principle of legality)

4. Ne bis in idem (double jeopardy)

5. Asas tidak berlaku surut (non retroactivity), kecuali apabila ada perubahan UU yang meringankannya.

Apabila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara. Maka, yang harus diperhatikan adalah Basic Principles for the Treatment of Prisoners, beserta pula Body of Principles for the Protection of all Persons under any form of Detention or Imprisonment.

Metode Ilmu Hukum

Tujuan setiap ilmu pada dasarnya adalah mencari atau merumuskan sistem dan memecahkan masalah. Setiap ilmu itu mengumpulkan bahan-bahan atau material, menyusunnya secara sitematis menurut sistem tertentu, menjelaskannya secara (sistematis) logis dan memecahkan permasalahan. Adapun yang dimaksudkan dengan sistem adalah suatu kesatuan yang terstruktur (a structured whole) yang terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang selalu mengadakan interaksi satu sama lain. Interaksi memungkinkan terjadinya konflik dan sistem hukum tidak akan membiarkan konflik itu terjadi berlarut-larut dengan menyediakan asas hukum untuk mengatsi konflik tersebut. Hukum merupakan sistem yang abstrak atau normatif.

Jadi untuk memperoleh suatu ilmu diperlukan suatu cara atau metode. Kata metode berasal dari kata Yunani metodos yang terdiri dari kata meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti dan hodos yang berarti penelitian, uraian ilmiah. Metode ilmiah adalah sistem aturan atau cara yang menentukan jalan untuk mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu (Bakker, 1984: 10). Jadi metode ilmiah (scientific method) adalah suatu sistem atau cara untuk menghimpun, menyusunnya secara sistematis bahan-bahan atau material tersebut dan menjelaskannya serta memecahkan permasalahan-permasalahan untuk memperoleh suatu pengetahuan.
Syarat ilmiah suatu tulisan ilmiah sekurang-kurangnnya adalah bahwa penyusunan materinya harus sistematis, penjelasannya harus logis dan menggunakan penalaran yang induktif atau deduktif.

Sekalipun tujuan ilmu itu pada dasarnya sama, tetapi materialnya atau bahan-bahannya tidak sama, sehingga metodenya pun tidak sama. Ilmu hukum berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu hukum materialnya adalah bahan-bahan hukum. Inilah antara lain yang membedakan dengan ilmu-ilmu lain.

Untuk mengetahui metode ilmu hukum perlu kiranya diketahui apa ilmu hukum itu serta ciri-cirinya.
Terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa definisi tentang ilmu hukum dari beberapa penulis. Menurut Meijers ilmu hukum atau dogmatik hukum adalah pengolahan atau penggarapan peraturan-peraturan atau asas hukum secara ilmiah semata-mata dengan bantuan logika (1903: 15) dan menurut Fockema Andreae (1983) ilmu hukum adalah cabang ilmu hukum yang bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara peraturan hukum yang satu dengan yang lain, mengaturnya dalam satu sistem dan mengumpulkan darinya aturan baru serta pemecahan persoalan tertentu, sedangkan menurut Gijssels ilmu hukum adalah cabang ilmu hukum positif yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama dalam waktu tertentu dari sudut pandang normatif yang bersifat yuridis maupun non yuridis (1982: 75). Dari apa yang dikemukakan oleh tiga ahli di atas dapat kiranya disimpulkan bahwa ilmu hukum pada dasarnya adalah menghimpun dan mensistematisasi bahan-bahan hukum dan memecahkan masalah-masalah.
Apakah ilmu hukum itu ilmu? Di dalam literatur ilmu hukum sering dianggap bukan ilmu, bahkan dianggap sebagai seni tentang yang baik dan patut, ars boni et aequi. Ilmu hukum dianggap bukan ilmu dalam arti bukan merupakan ilmu tentang das Sein (Seinwissenschaft) oleh karena tidak bebas nilai, tidak menggunakan metode positif ilmiah dan bersifat normatif. Akan tetapi ilmu hukum atau dogmatik hukum adalah ilmu, yaitu ilmu tentang das Sollen: Sollenwissenschaft.

Sifat metode ilmu hukum menurut standaardnya mempunyai dua fungsi. Metode ilmu hukum itu dianggap sebagai metode yang ditujukan kepada realisasi tujuan yang praktis maupun yang teoretis dan sebagai metode yang tidak hanya digunakan di dalam ilmu hukum, tetapi juga di dalam praktek hukum (v.der Velde, 1988:16).

Ilmu hukum sekurang-kurangnya menunjukkan ciri atau sifat sebagai berikut.
a. Ilmu hukum bersifat dogmatis.
Ilmu hukum lebih dikenal dengan dogmatik hukum atau ilmu hukum dogmatik. Mengapa ilmu hukum disebut sebagai dogmatik hukum ialah oleh karena ilmu hukum mempelajari hukum positif, sedang hukum positif dianggap sebagai dogma, dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh dibuktikan lebih lanjut, tidak boleh diganggu-gugat. Bukan berarti bahwa hukum positif itu sama sekali tidak boleh diubah, akan tetapi kalau mau mengubah memerlukan prosedur dan makan biaya.
Kecuali itu kata “dogmatis” digunakan untuk menunjukkan metode tertentu, yaitu metode sintetis. Para ahli hukum perdata Perancis membedakan dua cara untuk menjelaskan materi yuridis, yaitu metode sintesis atau dogmatis dan metode analisis atau exegetis.
Metode sintesis adalah metode menggabungkan, yaitu suatu penalaran yang menggabungkan dua premisse sehingga menjadi suatu kesimpulan yang berbentuk suatu silogisme. Barangsiapa mencuri dihukum. Suto mencuri, maka Suto dihukum, Sebaliknya suatu analisis itu merupakan penalaran yang memisahkan. Suto dihukum oleh karena ada ketentuan bahwa siapa mencuri dihukum.
Ada yang bependapat bahwa ilmu hukum atau dogmatik hukum itu tidak mengenal metode analisis dalam pengertian analisis kritis, tetapi penjelasan atau penafsiran oleh karena pertanyaan-pertanyaan di dalam ilmu hukum hanya dapat dijawab oleh atau didalam hukum positif saja.
b. Ilmu hukum bersifat normatif
Ilmu hukum disebut sebagai ilmu hukum normatif oleh karena objeknya terdiri dari norma atau kaedah
c. Ilmu hukum bersifat hermeneutis
Ilmu hukum bersifat menafsirkan. Dalam hal ini dikenal beberapa metode penemuan hukum. Tidak jarang bahwa metode interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum dianggap sebagai metode ilmu hukum. Metode penemuan hukum tersebut lebih merupakan metode yang digunakan dalam praktek hukum.
d. Ilmu hukum berorientasi yurisprudensial
Ilmu hukum merupakan ilmu hukum peradilan (rechtspraak wetenschap). Dengan demikian ilmu hukum itu berorientasi kepada yurisprudensi.

Menurut Paul Scholten (G.J.Scholten, 1949: 298) hukum dapat dilihat dari 3 segi yang kesemuanya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi harus dipisahkan satu sama lain.
Pertama metode yang melihat hukum sebagai perilaku dan pertimbangan manusia yang mencoba menjelaskan secara historis-sosiologis kenyataan berhubungan dengan fenomena-fenomena lain. Ini merupakan metode sejarah hukum dan sosiologi hukum. Metode ini menanyakan tentang terjadinya pranata dan gambaran-gambaran hukum, menjelaskan terjadinya secara causaal-genetis.
Yang kedua adalah metode yuridis yang sesungguhnya yang melihat peraturan yang berlaku sebagai suatu kesatuan yang berarti yang dijelaskan dari dirinya sendiri. Metode ini tidak menanyakan bagaimana terjadinya hukum, tetapi “apakah hukum itu?” dan sekaligus menjawab pertanyaan “apa yang sah?”. Apakah dalam konkretonya dalam hubungan tertentu harus terjadi menurut hukum? Bukan causaal-genetis, tetapi logis-sistematis.
Akhirnya adalah metode yang menilai hukum yang tidak menanyakan apa hukum itu, tetapi “apa/bagaimana hukum itu seharusnya” dan ukurannya diterapkan pada hukum yang berlaku. Ini merupakan metode filsafat hukum. Ia menanyakan tentang “hukumnya hukum” atau “keadilan”.

DAFTAR ACUAN
Bakker, Anton-, 1984, Metode metode filsafat, Ghalia Indonesia
Salam, Burhanuddin, H.- 1988, Logika Formal, Bina aksara, Jakarta
Suriasumantri, Jujun S.-, 1984, Filsafat Ilmu sebuah pengantar, Penerbit Sinar Harapan
Scholten, Paul -, 1945, De stuctuur der rechtswetenschappen, NV Noordhollandsche Uitgevers Matschappij, Amsterdam
Scholten, Paul-, Recht en gerechtigheid dalam G. J. Scholten ed., Verzamelde Geschriften van wijlen Paul Scholten
Scholten, G. J.-, ed., 1949, Verzamelde Geschriften van wijlen Prof. Mr. Paul Scholten, NV Uitgevers-Maatschappij, W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle
Velden, W.G. van der-, 1988, disertasi, De ontwikkeling van de wetgevingswetenschap, Koninklijke Vermande B.V., Lellystad

Tentang Bab Pemidanaan, Pidana dan Tindakan

A. Pengantar

1. Hanya catatan sekilas, karena keterbatasan waktu dan kemampuan, terhadap sebagian ketentuan yang dipilih.
2. Mencoba mengajak melihat pemikiran Tim Penyusunan Rancangan KUHPidana yang bekerja sejak tahun 1981/1982 hingga penyerahan konsep akhir kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh pada tanggal 17 Maret 1993.
3. Rujukan yang dipakai adalah:
3.1. Ditjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor …. Tahun …. tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, 2002.
3.2. Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Buku Keempat, 1995
3.3. Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, 2003.

B. Bagian Kesatu – Pemidanaan (Ps. 50 dst-nya)

1. Rancangan telah memasukkan Tujuan Pemidanaan (Ps. 50) dan Pedoman Pemidanaan (Ps. 51) untuk membantu penegak hukum lebih memahami falsafah pemidanaan yang dianut. Falsafah secara singkat dapat dilihat pada Ps. 50 (3) untuk tidak menderitakan dan merendahkan martabat manusia Indonesia.
2. Dalam Ps. 51 (2) juga dibuka kemungkinan untuk tidak menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang bersalah (bandingkan dengan Ps. 9a Wvs Belanda – dikenal sebagai “rechterlijk pardon”- pengampunan oleh hakim).
3. Dimungkinkan pula untuk mengubah pidana (atau tindakan) dengan melihat pada perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan (Ps. 53-1), yang tidak boleh menjadi lebih berat dan memerlukan persetujuan narapidana. Perubahan ini dilakukan dengan putusan pengadilan dan mengikatkan kita pada model “indeterminate sentence” di Amerika (pendekatan kriminologi).
4. Fleksibilitas penjatuhan pidana (demi kepentingan pembinaan terpidana) dapat dilihat pula pada Ps. 54 (1): pidana penjara menjadi denda, serta pada Ps. 56 (2): ancaman alternatif dijatuhkan kumulatif. Kepercayaan yang diberikan kepada hakim ini tentunya dipandu (dipedomani) oleh tujuan dan pedoman pemidanaan (Ps. 50 dan 51). Kepentingan perlindungan masyarakat (menyelesaikan konflik dan memulihkan keseimbangan dan rasa damai) dapat terlihat pula dalam Ps. 55 (2), tentang residivis.
5. Permasalahan praktek tentang pengurangan pidana berdasarkan masa tahanan, maupun tentang grasi dan napi yang melarikan diri dicoba diselesaikan pada Ps. 57, 58, dan 59.

C. Bagian Kedua – Pidana (Ps. 60 dst-nya)

1. Kecuali adanya ketentuan urutan beratnya (bobot?) pidana pokok, maka ada beberapa perubahan mendasar yang perlu diperhatikan:
1.1. pidana mati bukan pidana pokok (Ps. 61) tetapi altenatif khusus dan selalu harus diancam secara alternatif (logikanya dengan pidana penjara?);
1.2. pidana kurungan (hechtenis, detention) diganti dengan pidana tutupan (lihat Ps. 71); ini disebabkan karena rancangan “menghilangkan” buku ketiga KUHP tentang pelanggaran (Overtredingen);
1.3. ada pidana pokok “baru”, yaitu pidana pengawasan (Ps. 72 dst-nya ) yang serupa (tetapi tidak sama) dengan pidana - percobaan dan mau mencontoh model “probation” di luar negeri;
1.4. pidana pokok yang benar-benar baru adalah pidana kerja sosial (community service order- CSO) yang ketentuannya diatur dalam Ps. 79.
2. Menjadikan pidana mati (Ps. 80 dst-nya) pidana khusus, dimaksudkan untuk menyembatani perdebatan antara pihak yang pro dan kontra pidana mati. Dalam keadaan khusus (perang penghianatan terhadap negara, terorisme) memang dirasakan bahwa lembaga pidana mati ini masih diperlukan. Ps. 82 dan 83 mencoba menyembatani pula kritik terhadap pengalaman Indonesia yang menunda-nunda pelaksanaan (Ps. 83), maupun untuk membantu mereka yang bimbang tentang pelaksanaannya sehingga dimungkinkan penundaan selama masa percobaan sepuluh tahun (Ps. 82).
3. Pidana tambahan yang baru (Ps. 62-1) adalah “pembayaran ganti kerugian” dan “pemenuhan kewajiban adat”. Yang mengalami perkembangan adalah “perampasan barang dan tagihan”. Catatan singkat mengenai hal ini (lihat Reksodiputro, 1995, hal 52 dst):
3.1. perampasan (verbeurd verklaring) dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok (Ps. 88-1) dan juga atas barang (dan tagihan) yang tidak disita (Ps. 90);
3.2. pembayaran ganti kerugian lebih luas dari yang sekarang ada dalam Ps. 14c (1) KUHP sehubungan dengan “pidana bersyarat” , karena menurut Ps. 92 pembayaran diberikan kepada korban (atau ahli waris) menunjukkan perhatian Rancangan terhadap penderitaan korban (pendekatan viktimologi);

3.3. pemenuhan kewajiban adat tentu ada kaitan dengan Ps. 1 (3) Rancangan yang mengakui berlakunya “hukum pidana adat”, dan dalam ini menjadi pidana yang diutamakan (Ps. 93-2); dan menurut Ps. 62 (3) dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan delik.
4. Sama seperti sebelumnya pidana penjara adalah untuk seumur hidup atau waktu tertentu (Ps. 64-1), batas atasnya adalah 15 tahun (dengan kemungkinan 20 tahun, Ps. 64-3) dengan batas minimum khusus. Yang terakhir ini dimaksudkan untuk memenuhi keinginan masyarakat yang kecewa atas putusan hakim yang dianggap kurang memperhatikan “pandangan masyarakat” maupun “pengaruh tindak pidana terhadap korban” (Ps. 51). Meskipun sudah ada tujuan dan pedoman Ps. 50 dan Ps. 51, namun khusus untuk pidana penjara dibuat pula pedoman untuk tidak menjatuhkan pidana penjara (Ps. 66).
5. Lembaga pembebasan bersyarat bagi narapidana (Ps. 67) telah diberi “baju baru” , sehingga lebih merupakan lembaga “parole” di Amerika Serikat. Narapidana sekarang menjadi “klien pemasyarakatan” dengan harapan bahwa falsafah/konsepsi pemasyarakatan dapat lebih baik dilaksanakan. Di sini akan ada Tim Pengamat Pemasyarakatan dan hakim pengawas (Ps. 70). Hakim pengawas (telah diintrodusir oleh KUHAP dalam tahun 1981!) ini juga berperan dalam pidana pengawasan (Lihat 1.3 diatas).

D. Bagian Ketiga – Tindakan (Ps. 94 dst-nya)

1. Konsepsi tentang tindakan diambil oleh Rancangan dari Belanda, yang mengenal disamping “straf” juga “maatregel” sebagai sanksi dalam hukum pidana. Remmelink (2003 –hal 458) mengatakan “… bila kita bicara tentang maatregel (tindakan), maka di sini yang mendominasi adalah fungsi prevensi khusus. … pada prinsipnya tindakan berwujud sebagai suatu “perlakuan” (behandeling/treatment) … di samping atau sebagai pengganti pidana”. Di Belanda ketentuan mengenai tindakan ini diatur dalam bab tersendiri sejak tahun 1983 (Bab/Title II A Buku Kesatu). Yang dengan sangat gigih memperjuangkan konsepsi ini ke dalam Rancangan adalah Prof. R. Soedarto, SH (Ketua TIM 1982-1986).
2. Dalam kaitan dengan Ps. 34 (tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana) dan Ps. 35 (kurang dapat dipertanggungjawabkan), maka kategori pertama tindakan adalah perawatan di rumah sakit jiwa atau penyerahan kepada pemerintah atau seseorang swasta (Ps. 94-1). Di Belanda penyerahan ini dikenal sebagai “terbeschikhingstelling” atau “tbs”.
3. Rancangan mengenal tindakan yang dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok (Ps. 94-2), sebagai kategori kedua. Belanda mengenal sebagai tindakan “penarikan dari peredaran” (confiscation) terhadap barang-barang sitaan (Ps. 36b WvS Belanda) disamping pidana tambahan “perampasan” (Ps. 33 WvS Belanda: “forfeiture” – Ps. 88 Rancangan). Tetapi tindakan kategori kedua Rancangan tidak mengenalnya (dianggap sudah cukup diatur dalam KUHAP?).
4. Tetapi rancangan mengenal tindakan:
4.1. pencabutan surat ijin mengemudi;
4.2. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana (deprivation of the unlawfully obtained gains – Belanda Ps. 36e);
4.3. perbaikan akibat tindak pidana;
4.4. latihan kerja;
4.5. rehabilitasi; dan/atau
4.6. perawatan di lembaga.
Pengaturan mengenai tindakan kategori kedua ini terdapat dalam Ps. 99-104, dengan ketentuan umum (Ps. 105) bahwa tata cara pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
5. Dalam buku Remmelink (2003) tindakan (versi Belanda) tentang “penarikan dari peredaran” (confiscation – onttrekking aan het verkeer) dan tentang “perampasan keuntungan” (deprivation of the unlawfully obtainded gains – ontneming van wedderechtlijk verkregen voordeel) dijelaskan sangat rinci dan jelas (hal. 506-552).

E. Bagian Keempat – Pidana dan Tindakan bagi Anak (Ps. 106 dst-nya)

1. Suatu bagian khusus dalam WvS Belanda tentang anak terdapat dalam Bab/Title VIII A (mulai tahun 1994) dan dibahas oleh Remmelink (2003) di halaman 538-546. Perhatian dan perlakuan khusus tentang anak dalam Rancangan dimulai dengan menyatakan bahwa anak di bawah 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana. Ketentuan dalam Rancangan mengenai pidana dan tindakan bagi anak berlaku bagi orang yang berumur antara 12-18 tahun. Ditentukan pula dalam Ps. 107, bahwa untuk kepentingan masa depan anak, pemeriksaan di sidang pengadilan dapat ditunda.
2. Ketika UU Pengadilan Anak (No. 3/1997) dibicarakan dalam masyarakat serta di Depsrtemen Kehakiman dan DPR, Rancangan tentang “Pidana dan Tindakan bagi Anak” ini telah ada di tangan pemerintah (diserahkan pada Menteri Kehakiman Ismail Saleh, bulan Maret 1993). Namun sayang sekali pemikiran yang ada dalam rancangan tidak diberi perhatian oleh Menteri Kehakiman pada waktu itu, yang mengganti Ismail Saleh. Padahal dalam diskusi-diskusi Tim Penyusun Rancangan KUHP, telah dipelajari dan dibahas perkembangan baru di dunia serta rekomendasi PBB seperti : The UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice 1985 (dikenal pula sebagai “Beijing Rules”) dan The UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived of Liberty 1990.

3. Tim menginginkan agar filosofi dan jenis pidana dan tindakan bagi anak (12-18 tahun) berbeda dari yang berlaku untuk orang dewasa (18 tahun ke atas) yang ditentukan a.1. dalam Ps. 60 (Pidana Pokok), Ps. 62 (pidana tambahan) dan Ps. 94 (Tindakan). Oleh karena itulah disusun Ps. 109 (pidana pokok dan pidana tambahan) serta Ps. 122 (tindakan bagi anak). Namun demikian tentunya, mutatis mutandis, ketentuan Ps. 50 (tujuan pemidanaan), Ps. 51 (pedoman pemidanaan) serta Ps. 66 (pedoman penjatuhan pidana penjara/pidana pembatasan kebebasan bagi anak) tetap berlaku.
4. Pidana pokok bagi anak terdiri dari (Ps. 109-1):
4.1. Pidana nominal (pidana peringatan atau teguran keras;
4.2. Pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, atau kerja sosial, atau pengawasan);
4.3. Pidana denda (tetap berlaku pula Ps. 75 dan 76);
4.4. Pidana pembatasan kebebasan (di dalam lembaga, atau penjara, atau tutupan);
Sedangkan pidana tambahannya (Ps. 109-2) terdiri atas:
4.5. Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan;
4.6. pembayaran ganti kerugian;
4.7. pemenuhan kewajiban adat.
Pidana tambahan ini agak berbeda dengan yang ditentukan untuk orang dewasa (Ps. 62).
5. Adapun tindakan yang dapat diberikan oleh hakim kepada anak untuk kategori pertama serupa dengan yang berlaku, mutatis mutandis, untuk orang dewasa (Ps. 94-1), namun untuk kategori kedua agak berbeda (bandingan dengan Ps. 94-2) dan dapat dikenakan tanpa pidana pokok, dari terdiri atas: pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya; penyerahan kepada pemerintah atau seseorang (swasta); keharusan mengikuti latihan (“latihan paksa”); pencabutan surat ijin mengemudi; perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; perbaikan akibat tindak pidana, rehabilitasi, dan atau perawatan di lembaga.
Catatan: Ketentuan-ketentuan tentang pidana dan tindakan ini memang masih perlu dijabarkan lebih lanjut. Seharusnya penjabaran ini dapat dilakukan dalam UU Pengadilan Anak (No. 3/1997) yang diperbarui.

F. Khusus mengenai denda

1. Pada waktu Tim Rancangan akan mengubah ancaman pidana denda dalam perumusan delik di Buku Kedua, maka ditemukan masalah karena ternyata WvS Hindia-Belanda tidak menunjukan adanya pola yang jelas tentang penyebaran ancaman pidana di antara delik-delik. Oleh karena itu, maka Tim mengambil keputusan suatu pola ancaman pidana yang didasarkan pada derajat keseriusan suatu delik (menurut Tim). Adapun pola yang kemudian terbentuk, adalah mengkategorikan delik-delik dalam lima kategori, yaitu : sangat ringan, ringan, sedang, berat, dan sangat serius. Disamping itu disusun pula enam kategori maksimum denda Rp. 150.000,- (dikaitkan dengan upah Minimum Rata-rata sebulan pada waktu di Jakarta), sampai denda yang paling tinggi (kategori VI) yang merupakan kelipatan 2000 (dua ribu) kali kategori I. Pekerjaan selanjutnya adalah mengaitkan lima kategori delik dengan ancaman pidana penjara dengan hanya mempergunakan ukuran tahun. Untuk delik sangat ringan tidak ada ancaman pidana penjara, sedangkan delik yang sangat serius diberi ancaman di atas 7 tahun penjara.
2. Dengan pola tersebut terbentuklah pola pemidanaan yang dipakai secara garis besar oleh Tim sebagai berikut (bandingkan pula dengan Ps. 75 (3)):
a. Sangat ringan: tidak ada pidana penjara dan/atau denda kategori I maksimum Rp. 150 ribu;
b. Ringan: maksimum penjara 1-2 tahun dan/atau denda kategori II maksimum Rp. 750 ribu;
c. Sedang: maksimum penjara 2-4 tahun dan/atau denda kategori III maksimum Rp. 3 Juta;
d. Berat: maksimum penjara 5-6 tahun dan/atau denda kategori IV maksimum Rp. 7,5 Juta;
e. Sangat serius: di atas 7 tahun penjara, tanpa ada denda.
3. Dengan mempertimbangkan bahwa untuk korporasi perlu dibuat pula ancaman denda khusus, maka kategori denda ditambah dengan:
3.1. kategori V: maksimum Rp. 30 Juta;
3.2. kategori VI: maksimum Rp. 300 Juta;
Di Belanda, Ps. 23 WvS-nya juga mempunyai enam kategori, dengan terendah NF 500 (guilders) dan yang tertinggi (kategori VI) NF 1 Juta (guilders) atau 2000 (dua ribu) kali.
Pencatuman kategori denda dalam suatu pasal tersendiri dimaksudkan untuk memudahkan penyesuaiannya dalam hal ada perubahan nilai uang rupiah yang disebabkan peristiwa moneter.

G. Penutup

1. Catatan-catatan sekilas di atas masih jauh dari yang diperlukan sebagai catatan akademik (ilmiah). Memang sudah waktunya kalangan akademik memberi perhatian (kembali) kepada Rancangan yang membutuhkan sepuluh tahun (1982-1993) untuk menyusunnya dan kemudian “terkubur” selama sepuluh tahun pula (1993-2004).
2. Buku Remmelink yang terbit dalam tahun 2003 dalam bahasa Indonesia, dan merupakan terjemahan dari buku bahasa Belanda tahun 1995, akan dapat banyak membantu sarjana hukum Indonesia lebih memahami ke arah mana hukum pidana Indonesia telah berkembang.

Problematika Beban Pembuktian Terbalik

the method of logic plays a secondary and subordinate part in the administration of the law, that law is concerned with the making of just and socially desirable decisions rather than with an exercise of logical acumen
-- Edgar Bodenheimer --



Adalah suatu fenomena yang memprihatinkan bahwa sejak memasuki era reformasi kurang terlihat pandangan dari para akademisi hukum di kampus untuk memperlihatkan atau memperdengarkan suara mereka yang objektif –“zakelijk” bertalian dengan problematik implementasi penegakan hukum. Saya kurang mengerti mengapa demikian. Kalau hal itu terjadi di zaman Orde Baru, mungkin hal membisu dapat saja difahami. Sebaliknya, kalau di zaman Orde Baru para pengacara tidak begitu bersemangat berkoar-koar tentang Hak Asasi Manusia dan Rule of Law, kini dalam membela orang-orang yang diduga tercemar korupsi, bukan main suara lantang mereka. Saya tidak tahu mengapa demikian, mungkin saja hambatan dan ketakutan bersuara sudah tidak ada lagi. Mungkin juga karena seperti kata pepatah Belanda :

“Wiens brood men eet, diens woord men spreekt” (Yang bersuara sesuai selera yang membayar).

Semua itu boleh saja sepanjang yang dijadikan pedoman adalah rambu-rambu hukum berdasarkan “legal ethics” dan “moral values”. Jika kita tidak berpegang pada apa yang baru saja saya sebut, maka berlaku pepatah Belanda pula : “de pot verwijt de ketel” (Belanga menyalahkan panci; keduanya sama-sama hitam). Untuk kutipan dua pepatah asing tersebut, saya mohon klemensi, sebab bahasa atau ungkapan bahasa kita seperti tidak ada.

Lebih kurang tigapuluh tahun yang lalu, problematik beban pembuktian terbalik sudah menjadi wacana di dunia fakultas hukum; “omkering van de bewijslast” begitulah problematik pembahasan pada waktu itu. Dirasakan dan dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang tidak begitu jauh berbeda secara substansial dengan apa yang disuarakan dewasa ini. Dalam pada itu kritik-kritik terhadap beban pembuktian terbalik akhir-akhir ini sangat kental nuansanya dengan nada partisan dan politik. Dalam era reformasi, semua itu boleh-boleh saja atau sah-sah saja.

Sementara itu perlu dicermati ungkapan Oliver W. Holmes yang dipandang sebagai suatu “famous apothegm” dalam “The Common Law” (Boston, 1923) bahwa “The life of the law has not been logic, it has been experience”. Pengalaman selama ini memperlihatkan betapa korupsi adalah suatu binatang jalang yang sulit ditaklukkan. Mohammad Hatta beberapa dekade yang lalu benar kalau menguatirkan bila korupsi suatu waktu akan menjadi bagian dari budaya kita yang kini dipandang sebagai rancu itu. Berkorupsi seolah-olah dipandang sebagai suatu hal yang wajar. Bahkan kadang-kadang dengan menyalahkan para hakim yang dipandang sudah tercemar dengan perbuatan yang sangat tidak terpuji, sebetulnya adalah interaksi dari mereka yang menjadi bagian dari proses penegakan hukum di peradilan atau di pengadilan. Ingat “de pot verwijt de ketel”.

Dan kini ketika akan dilancarkan gagasan untuk menerbitkan PERPU tentang beban pembuktian terbalik, mulailah berbagai suara diperdengarkan, mulai dari yang murni hukum, yang rancu hukum, sampai pada yang partisan dengan rasa ketakutan akan dibantai oleh pihak pemerintah. Saya akan memulai dengan yang terakhir ini dulu. Sesungguhnya kalau anda tidak terlibat korupsi maka tidak ada alasan untuk menjadi “takut” dari kelompok atau partai manapun. Masa orang yang tidak korupsi akan begitu saja ditangkap, diadili secara serampangan dan dijebloskan ke Nusakambangan. Kalau demikian halnya, maka ini bukan lagi suatu negara hukum, melainkan suatu negara kekuasaan (diktatur atau otoriter).

Alasan bahwa PERPU itu tidak tepat waktu, kendatipun korupsi itu sudah demikian parah menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya dapat dibantah secara politis oleh orang-orang di Senayan. Namun sekali PERPU dijadikan komoditas politik, maka itu soal lain yang hanya dapat dijawab secara politis pula. Dan tidak ada maksud untuk menjawab hal itu di sini.

Pandangan bahwa dilihat dari segi tata urutan perundangan PERPU itu tidak cocok dan bertentangan dengan undang-undang adalah terlalu dicari-cari alias “te ver gezocht”. Mengapa ? Sebab begitu PERPU diterima, maka statusnya yang tadi-tadinya hanya secara gradasi akan serta merta berubah menjadi undang-undang. Dengan perkataan lain, ketidaksetujuan bahwa PERPU berada di bawah undang-undang memang benar, tetapi bukankah ia membicarakan juga hal yang sama yang telah dibicarakan oleh Undang-Undang Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

Perlu disadari bahwa Pasal 28 Undang-Undang Korupsi membicarakan tentang “tersangka wajib memberi keterangan”. Ungkapan kalimat ini sesungguhnya memberi pembenaran atau jastifiki untuk kemudian dijabarkan lebih lanjut yang sesungguhnya hanyalah suatu langkah lebih lanjut menjadi beban pembuktian terbalik. Memang sejak semula saya hanya sepakat bahwa beban pembuktian terbalik ini hanya digunakan oleh hakim, dan sama sekali tidak boleh digunakan oleh pihak kepolisian dan atau kejaksaan. Mengapa ? Sebab pemeriksaan yang transparan hanya di pengadilan. Tanpa transparansi, terlepas dari praktek yang sudah tercemar dewasa ini di kedua lembaga itu, penerapan beban pembuktian terbalik di kedua lembaga itu bisa menjadikan asas ini sebagai sarana “pemerasan”.

Apakah benar bahwa penerapan beban pembuktian terbalik ini melanggar Hak Asasi Manusia ? Saya memang melihat akhir-akhir ini banyak interpretasi ibarat “beauty is in the eye of the beholder” bertalian dengan Hak Asasi Manusia. Dalam hubungan ini, saya ingin bertanya, apakah penerapan asas “retroactive” seperti yang sudah disetujui oleh PAH I MPR di Senayan itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Bukankah banyak LSM dan para politisi ingin sekali menerapkan asas “retroactive” itu bertalian dengan “gross violation of humen rights”. Supaya diketahui saja, bahwa dalam dunia hukum dikenal asas “de uitzonderingen bevestigen de regel” (perkecualian memastikan aturan yang ada), dan itu seringkali dilupakan atau pura-pura tidak diingat oleh para partisan dari kelompok tertentu.

Kalau dikatakan bahwa PERPU ini bertentangan dengan KUHAP, maka hendaklah diingat bahwa Undang-Undang Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, yang saya labelkan sebagai “undang-undang TANPA anus” sebagai tidak memiliki aturan peralihan, pada hakekatnya adalah suatu “bom waktu” dalam rangka pemberantasan korupsi. Saya tidak akan berpanjang lebar tentang hal itu di sini, tetapi bersedia mengulasnya lebih lanjut apabila diperlukan.

Apakah PERPU itu tidak bertentangan dengan KUHAP. Hemat saya tidak, sebab dalam Undang-Undang Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, sudah diakomodasi hukum acaranya, sehingga tidak ada alasan untuk menolak PERPU ini.

Sebagai suatu kesimpulan sementara dapat dicatat sebagai berikut :
a. PERPU ini amat sangat dibutuhkan dalam rangka pemberantasan korupsi;
b. mereka yang “menantang” PERPU ini dengan berbagai alasan, bisa dikategorisasi dari yang “takut” korupsinya akan dibongkar, sampai pada berusaha mengkambinghitamkan pihak penguasa;
c. tidak ada unsur pelanggaran HAM, sebab asas “retroactive” untuk “gross violation of human rights” juga melanggar doktrin hukum legalistik positivistik;
d. pelanggaran terhadap KUHAP juga tidak benar, sebab Undang-Undang Korupsi yang sekarang sudah mengatur hukum acaranya sendiri;
e. Pasal 28 Undang-Undang Korupsi juga membutuhkan penjabaran lebih lanjut dan itu bisa dicapai melalui PERPU.

Saya masih berharap akan “common sense”, juga akan “legal sense” berdasarkan “legal ethics and moral ethics”, sebab jika tidak demikian halnya, maka sebagai seorang mantan pendidik, tidaklah enak jika teringat akan ucapan David Paul Brown bahwa “The mere lawyer is a mere blockhead”.
*** Tugas kita adalah bukan untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itu lah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil .
*** Tugas kita adalah bukan untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itu lah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil .

Senin, 24 Januari 2011

thank you for loving me

It’s hard for me to say the things
I want to say sometimes
There’s no one here but you and me
And that broken old street light
Lock the doors
We’ll leave the world outside
All I’ve got to give to you
Are these five words when I

Thank you for loving me
For being my eyes
When I couldn’t see
For parting my lips
When I couldn’t breathe
Thank you for loving me
Thank you for loving me

I never knew I had a dream
Until that dream was you
When I look into your eyes
The sky’s a different blue
Cross my heart
I wear no disguise
If I tried, you’d make believe
That you believed my lies

Thank you for loving me
For being my eyes
When I couldn’t see
For parting my lips
When I couldn’t breathe
Thank you for loving me

You pick me up when I fall down
You ring the bell before they count me out
If I was drowning you would part the sea
And risk your own life to rescue me

Lock the doors
We’ll leave the world outside
All I’ve got to give to you
Are these five words when I

Thank you for loving me
For being my eyes
When I couldn’t see
You parted my lips

When I couldn’t breathe
Thank you for loving me
When I couldn’t fly
Oh, you gave me wings
You parted my lips
When I couldn’t breathe
Thank you for loving me

Rabu, 05 Januari 2011

Teori Penjatuhan Hukuman


Teori Penjatuhan Hukuman

Dalam Istilah umum Hukuman adalah untuk segala macam sangsi baik perdata, administrative, disiplin dan pidana. Menurut bahasa Belanda untuk menyebut istilah hukuman dan pidana adalah straf, sedangkan di Indonesia straf menpuyai makna ganda yang harus dipisahkan yaitu istilah hukuman dan istilah pidana, sedang istilah pidana itu sendiri adalah berkaitan dengan hukum pidana.
Pidana sendiri di Indonesia adalah karakteristik yang membedakan dengan hukum perdata sedangkan hukuman adalah sangsi atau konsekuensi bagi pelanggar hukum pidana atau perdata. Tujuan pidana tidak harus dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan. Dalam pengertian pidana dan tindakan ( maatregel) harus bisa dibedakan.


Golongan teori pidana

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :

1) Teori Relatif atau tujuan ( doeltheorien )
Teori ini mencari mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya, yaitu untuk mencegah terjadinya kejahatan.Pidana ini biasanya membuat seseorang takut, memperbaiki atau membinasakan. Bentuk tertua pencegahan umum dipraktekkan sampai revolusi Prancis, biasanya dilakukan dengan menakuti orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkanan, kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputu kan itu dipertontonkan didepan umum dengan sangat ganasnya agar supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya yang akhirnya muncul sebutan adogium latin ( neon prudens punit,quia peccantum, sed net peccetur ) supaya kalayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya didepan umum.

2) Teori Absolut atau teori pembalasan ( vergeldingstheorien )
Teori ini muncul pada akhir abad ke 18 dianut antara lain oleh imanuel kant, Hegel, Herbart, para sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat katolik dan para sarjana hukum islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran Al-quran. Teori absolut mengatakan bahwa pidana tidak lah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur – unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada karena dilakukan suatu kejahatan. Tidak perlu memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu karena setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana pada pelanggaran.
Oleh karena itu teori ini disebut teori absolut karena pidana merupakan tuntutan mutlak bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, hakikat suatu pidana adalah pembalasan.

3. Teori gabungan ( verenigingsthrorien)
Teori gabungan antara pembalasan dan pencegahan beragam pula, ada yang menitik beratkan pada pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prefensi seimbang
a.       Menitik beratkan pada unsur pembalasan dianut antara lain oleh Pompe,
Pompe mengatakan orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang pidana dapat dibedakan dengan saksi-saksi lain tetapi tetap ada cirri-cirinya, tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu saksi dan dengan demikian terikat dengan tujuan saksi-saksi itu. Dan karena itu hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan : pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat. ( diterjemahkan dari kutipan Oemar  Seno Adji-1980).
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap- tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana,Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukikan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zevenbergen yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah.
b.      Teori gabungan yaitu yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat.
Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya. Dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik – delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana adalah melindungi kesejahteraan masyarakat.
Dalam rancangan KUHP nasional telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana yaitu :
1)      mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hokum demi pengayoman masyarakat.
2)      mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3)      menyelesaikan konflik yang ditimbulkan olah tindakan pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4)      membebaskan rasa bersalah pada terpidana ( pasal 5 ).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum dalam rancangan KUHP tersebut merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prefensi, koreksi kedamaian dalam masyarkat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana ( mirip dengan expiation ).


Tujuan Pidana
Tujuan pidana adalah reformation, restraint, retribution dan deterrence.
Reformasi mempunyai arti memperbaiki atau merubah orang yang melakukan kejahatan menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan aman jika tidak ada orang yang melakukan kejahatan dan tidak ada kerugian jika orang jahat berubah menjadi baik. Reformasi harus dibarengi dengan tujuan lain seperti pencegahan.
Restraint adalah mengasingkan pelanggaran dari masyarakat, dengan tersingkirnya pelanggaran hokum dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman, jadi ada juga kaitannya dengan system reformasi. Jika dipertanyakan berapa lama terpidana harus diperbaiki dipengasingan dalam penjara. Masyarakat memerlukan perlindungan fisik dari perampokan bersenjata dan penodong daripada orang yang melakukan penggelapan.
Retribution adalah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan kejahatan.
Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga si terdakwa sebagai individu maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera dan takut melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Teori tentang tujuan pidana semakin hari semakin menuju kearah system yang lebih manusiawi dan lebih rasional. Perjalanan system pidana menunjukkan bahwa retribution atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Hal ini masih bersifat primitive tetapi kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini.yang dipandang tujuan berlaku sekarang ialah variasi dari bentuk-bentuk penjeraan ( detterent ) baik ditujukan kepada pelanggar hokum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat, perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat, perbaikan (reformasi) kepada penjahat.
Ada beberapa teori dijadikan dasar untuk membenarkan diterapkannya hukuman mati. Teori-teori tersebut di antaranya: Teori Absolut, Teori Relatif dan Teori Gabungan. Tetapi sejauh manakan kebenaran dari teori-teori ini dalam mempraktekan hukuman mati? Tulisan selanjutnya kita akan membahas lebih detil mengenai teori-teori ini.

1. Teori Absolut
Pandangan yang muncul dalam teori ini adalah bahwa syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari fungsi praktis yang diharapkan dari penjatuhan pidana tersebut. Dalam ajaran ini, pidana terlepas dari dampaknya di masa depan, karena telah dilakukan suatu kejahatan maka harus dijatuhkan hukuman. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang menyatakan: ”Di dalam hukum, pidana tidak dapat dijatuhkan hanya sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan umum. Hukuman atau pidana hanya dapat dijatuhkan pada seseorang karena ia bersalah melakukan kejahatan.”. Pernyataan Immanuel Kant tersebut sesuai dengan kesadaran masyarakat yang berpandangan bahwa ”siapa yang mengakibatkan penderitaan, maka ia pun harus menderita.” atau ”setiap orang layak mengalami apa yang ia akibatkan pada orang lain.” yang lebih di kenal dalam ungkapan ”tooth for tooth, eye for eye”.
Dalam ajaran absolut ini terdapat keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan pidana sebenarnya tidak berguna atau bahkan memiliki dampak yang lebih buruk terhadap pelaku kejahatan. Pandangannya diarahkan ke masa lalu (backward looking), bukan forward looking. Perlu diketahui bahwa maksud dan tujuan ajaran absolut ini selain sebagai pembalasan, menurut pandangan Stammler adalah juga untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum telah ditegakkan. Tujuan pemidanaan dalam ajaran absolut ini memang jelas sebagai pembalasan, tetapi cara bagaimana pidana tersebut dapat dibenarkan kurang jelas, karena dalam ajaran ini tidak dijelaskan mengapa harus dianggap adil meniadakan rasa terganggunya masyarakat dengan cara menjatuhkan penderitaan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan.
2. Teori Relatif
Berbeda dengan ajaran absolut, dalam ajaran relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hukum pidana difungsikan sebagai ancaman sosial dan psikis. Hal tersebut menjadi satu alasan mengapa hukum pidana kuno mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya harus dilakukan di muka umum, yang tidak lain bertujuan untuk memberikan ancaman kepada masyarakat luas. Tujuan mengancam dalam rangka pencegahan dikembangkan oleh Feuerbach dalam teorinya tentang paksaan psikologis. Feuerbach dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam perundang-undangan. Tetapi apabila ancaman tidak berhasil mencegah suatu kejahatan, maka pidana harus dijatuhkan karena apabila pidana tidak dijatuhkan akan mengakibatkan hilangnya kekuatan dari ancaman tersebut. Ajaran yang dikembangkan Feuerbach tidak mengenal pembatasan ancaman pidana, hanya syarat bahwa ancaman pidana tersebut harus sudah ditetapkan terlebih dahulu.
Pertimbangan dan titik tolak dalam penjatuhan pidana yang memperhatikan daya kerja umum dari pidana tersebut atau aspek prevensi sebagaimana telah diuraikan di atas, tanpa harus memperhatikan terdakwa merupakan argumen dalam penerapan ajaran prevensi umum.Bila ajaran prevensi umum bertitik tolak pada daya kerja umum dari pidana yang tanpa harus memperhatikan terdakwa, lain halnya dengan ajaran prevensi khusus yang bertujuan agar pelaku kejahatan tidak melakukan kejahatan lebih banyak lagi.

3. Teori Gabungan
Titik tolak dari ajaran ini, sebagaimana dianut oleh Hugo Grotius, adalah bahwa siapa yang berbuat kejahatan, maka ia akan terkena derita. Penderitaan dianggap wajar diterima oleh pelaku kejahatan, tetapi manfaat sosial akan mempengaruhi berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Sejalan dengan pandangan tersebut, M.P. Rossi menyatakan bahwa selain pembalasan, prevensi umum juga dianggap tujuan penting dalam hukum pidana. Karena kita hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna dan tidak mungkin juga untuk menuntut keadilan yang absolut, maka dapat kiranya kita mencukupkan diri dengan pemidanaan yang dilandaskan pada tertib sosial yang tidak sempurna tersebut. Dengan kata lain penerapan hukum pidana yang manusiawi dibatasi oleh syarat-syarat yang dituntut oleh masyarakat.
Pandangan seperti di atas dengan sudut pandang agama Katolik juga muncul seperti dikemukakan oleh Thomas Aquinas yang membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Maksud pembedaan yang dilakukan oleh Thomas Aquinas tersebut adalah ketika negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi khusus.
Dengan ajaran ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan ada pemberian rasa aman kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut juga akan muncul dalam masyarakat, termasuk perbaikan dari pelaku kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai sarana untuk menegakkan tertib hukum.